15 Agu 2013

Kilas Perjalanan Biji Kopi

Peta Abyssinia
OLEH ARYS ADITYA |
Menikmati secangkir kopi pahit yang masih mengebul-ngebulkan asap memang sangat nikmat. Lebih-lebih jika di pagi atau sore itu bersama orang terkasih dan pembicaraan berlangsung seru. Sesekali jua diiringi gelak tawa. Rutinitas yang begitu mencekik tiap hari tak lagi terpikirkan.

Nody Arizona dalam Indonesia Dalam Secangkir Kopi menulis hal menarik. Jika yang ada di hadapan Anda adalah kopi jenis Arabika, barangkali Anda tak akan pernah menikmatinya apabila pada ujung abad 17, tahun 1699, biji kopi tersebut tidak dibawa dan ditanam ulang oleh seorang bernama Henricus Zwaardecroon. Tiga tahun sebelumnya, bibit-bibit kopi jenis ini sebenarnya telah ditanam di Kebun Kopi Kedawung Batavia (Jakarta). Namun, penanaman pertama ini gagal panen karena banjir besar.


Penanaman kedua, yang akhirnya berhasil melahirkan biji kopi Arabika pertama di Nusantara, ditanaman di 6 perkebunan. Empat buah, Bidaracina, Jatinegara, Palmerah, dan Kampung Melayu, terletak di Batavia dan di Sukabumi serta Sudimara, Jawa Barat. Sesaat setelah itu, kolonial Belanda membawa contoh hasil panen kopi pertama yang dipetik dari perkebunan-perkebunan di Jawa untuk diteliti. Kebun Botani Amsterdam dipilih untuk mengembangkan dan mendistribusikan secara lebih luas ke seantero Benua Biru.

Henricus dan pendahulunya membawa bibit-bibit kopi ini dari Malabar, India. Pada masa itu Malabar sudah diakui sebagai sentra penanaman kopi dunia tapi dipercaya bukanlah tempat asal tanaman kopi.

* * *
Peta Abyssinia
Kopi pertama kali dibudidayakan pada abad 15 M oleh orang-orang Muslim di daerah bernama Harar—saat ini masuk ke dalam teritorial Ethiopia. Agak mengherankan karena pada masa itu, Kerajaan Abyssinia yang memiliki otoritas politik di wilayah itu, tidak memproduksinya dalam jumlah yang signifikan. Kerajaan Abyssinia yang beragama resmi Kristen baru memproduksinya dalam jumlah besar pada abad 20 M.

Cerita mengenai budidaya kopi ini tersebar dalam waktu cukup lama. Sejak abad 11 M, Harar menjadi salah satu tempat penyebaran Islam yang cukup masif. Kaum Muslim yang waktu itu kebanyakan menempati Yaman sering bepergian ke Harar. Sebagai wilayah paling timur dari Ethiopia, untuk pergi ke Harar, orang-orang Yaman hanya perlu berlayar sebentar melewati sebagian kecil Laut Merah. Atau jalur lainnya, menuju Teluk Aden.

Tahun-tahun berikutnya, kopi masih dibudidayakan oleh kaum Muslim dan tumbuh secara liar di wilayah Kerajaan Abyssinia. Barangkali, pasar menyebutnya sebagai kopi Arabika karena produksi sejumlah kopi waktu itu erat kaitannya dengan orang-orang dari Jazirah Arab. Bukan dengan orang-orang Abyssinia yang nyaris sama sekali tak memanen, menjual, atau mengonsumsinya.

Di masa ini telah dikenal kopi jenis Robusta, Liberica, dan Excelsa. Robusta tumbuh di sekitar Kongo juga wilayah tropis Afrika lain dan Excelsa banyak ditemui di dataran rendah Afrika Barat dan Tengah. Sedangkan Liberica, dapat mudah ditebak, tumbuh di sekitaran daerah bernama Liberia.

Sampai 200 tahun berikutnya kopi masih menjadi komoditas yang ‘dimonopoli’ secara komersial oleh kaum Muslim Yaman. Meskipun sudah ada sedikitnya 3 sub-jenis lagi dari tanaman kopi yang tumbuh di Harar dan wilayah Kerajaan Abyssinia lain, tetapi kopi-kopi tersebut dikenal dengan sebutan Arabika. Bahkan, ia memiliki nama lain yang lebih eksplisit: Mocha Yaman.

Satu lagi yang mungkin cukup mengejutkan kopi berbeda dengan produk pertanian lain. Sejak pertama kali dibudidayakan dalam jumlah signifikan, tingkat produksi kopi tidak berbanding lurus dengan tingkat konsumsi orang Yaman. Artinya, kopi sejak mula diorientasikan untuk dijual kepada orang luar, ekspor. Secara langsung, setelah memanen biji kopi, orang-orang Yaman pergi ke arah timur untuk membarternya dengan produk-produk lain.

Alasannya cukup sederhana, orang-orang Yaman lebih mencintai teh dibanding kopi.

* * *
Tak terlalu lama, lima tahun kemudian pada 1711, biji kopi yang dikembangkan di Kebun Botani Amsterdam menemukan pasarnya. Kopi Arabika yang ditanam di kebun-kebun di Pulau Jawa masuk ke Balai Lelang Amsterdam untuk pertama kali. Nama merk yang dipilih sebagai perkenalan untuk kopi dari Jawa ini adalah ‘Java Koffie’.

Pelelangan ini boleh dikatakan menjadi penanda kesuksesan kolonial dalam membudidayakan kopi di tanah jajahan. Jumlah kopi yang dibawa oleh kolonial waktu itu sekitar 894 pon, yang dikapalkan langsung dari perkebunan Batavia. Java Koffie laku dengan harga per ponnya sekitar 47 sen.

Termotivasi oleh pemerintah kolonial Belanda yang waktu itu masih diwakili oleh VOC, orang-orang Yaman turut menjual panen kopinya ke Balai Lelang Amsterdam. Sebelumnya, orang-orang Yaman ini masih agak segan untuk secara masif memasarkan produksi kopinya ke Amsterdam. Selain karena biaya transportasi yang harus ditanggung sangat tinggi, pajak yang dikenakan oleh pemerintah Turki Usmani tergolong mahal ketika mereka melintasi daerah-daerah protokol mereka.

Dikirimnya kopi Jawa ke Balai Lelang Amsterdam ternyata berdampak luas. Seorang bernama Gabriel de Clieu sampai di Paris, Perancis dan memperkenalkan Java Koffie ke Raja Perancis, Louis XIV. Karena Java Koffie, kolonial Perancis untuk pertama kali menanam kopi di daerah Martinique yang terletak di sebelah timur Laut Karibia, salah satu pulau yang ditemukan oleh Christoper Columbus tahun 1493.

Tak mengherankan, kopi yang kemudian tersebar di dataran selatan Benua Amerika, Amerika Latin, merupakan ‘anak-anak’ dari pohon yang ditanam di Martinique ini. Seperti salah satu varian kopi Arabika paling terkenal di dunia, Bourbon, yang tumbuh subur di dataran tinggi Brazil.


 Referensi:

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Secangkir Kopi Meracik Tradisi, 2011.
William Gervase Clarence-Smith dan Steven Topik (eds.), The Global Coffee Economy in Africa, Asia, and Latin America 1500-1989, 2003.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More