![]() |
Peta Abyssinia
|
OLEH ARYS ADITYA |
Menikmati secangkir kopi pahit yang masih
mengebul-ngebulkan asap memang sangat nikmat. Lebih-lebih jika di pagi atau
sore itu bersama orang terkasih dan pembicaraan berlangsung seru. Sesekali jua
diiringi gelak tawa. Rutinitas yang begitu mencekik tiap hari tak lagi
terpikirkan.
Nody Arizona dalam Indonesia Dalam Secangkir Kopi menulis
hal menarik. Jika yang ada di hadapan Anda adalah kopi jenis Arabika,
barangkali Anda tak akan pernah menikmatinya apabila pada ujung abad 17, tahun
1699, biji kopi tersebut tidak dibawa dan ditanam ulang oleh seorang bernama
Henricus Zwaardecroon. Tiga tahun sebelumnya, bibit-bibit kopi jenis ini
sebenarnya telah ditanam di Kebun Kopi Kedawung Batavia (Jakarta). Namun,
penanaman pertama ini gagal panen karena banjir besar.
Penanaman kedua, yang akhirnya berhasil melahirkan biji
kopi Arabika pertama di Nusantara, ditanaman di 6 perkebunan. Empat buah,
Bidaracina, Jatinegara, Palmerah, dan Kampung Melayu, terletak di Batavia dan
di Sukabumi serta Sudimara, Jawa Barat. Sesaat setelah itu, kolonial Belanda
membawa contoh hasil panen kopi pertama yang dipetik dari perkebunan-perkebunan
di Jawa untuk diteliti. Kebun Botani Amsterdam dipilih untuk mengembangkan dan
mendistribusikan secara lebih luas ke seantero Benua Biru.
Henricus dan pendahulunya membawa bibit-bibit kopi ini
dari Malabar, India. Pada masa itu Malabar sudah diakui sebagai sentra
penanaman kopi dunia tapi dipercaya bukanlah tempat asal tanaman kopi.
* * *
Peta Abyssinia
Kopi pertama kali dibudidayakan pada abad 15 M oleh
orang-orang Muslim di daerah bernama Harar—saat ini masuk ke dalam teritorial
Ethiopia. Agak mengherankan karena pada masa itu, Kerajaan Abyssinia yang
memiliki otoritas politik di wilayah itu, tidak memproduksinya dalam jumlah
yang signifikan. Kerajaan Abyssinia yang beragama resmi Kristen baru
memproduksinya dalam jumlah besar pada abad 20 M.
Cerita mengenai budidaya kopi ini tersebar dalam waktu
cukup lama. Sejak abad 11 M, Harar menjadi salah satu tempat penyebaran Islam
yang cukup masif. Kaum Muslim yang waktu itu kebanyakan menempati Yaman sering
bepergian ke Harar. Sebagai wilayah paling timur dari Ethiopia, untuk pergi ke
Harar, orang-orang Yaman hanya perlu berlayar sebentar melewati sebagian kecil
Laut Merah. Atau jalur lainnya, menuju Teluk Aden.
Tahun-tahun berikutnya, kopi masih dibudidayakan oleh
kaum Muslim dan tumbuh secara liar di wilayah Kerajaan Abyssinia. Barangkali,
pasar menyebutnya sebagai kopi Arabika karena produksi sejumlah kopi waktu itu
erat kaitannya dengan orang-orang dari Jazirah Arab. Bukan dengan orang-orang
Abyssinia yang nyaris sama sekali tak memanen, menjual, atau mengonsumsinya.
Di masa ini telah dikenal kopi jenis Robusta, Liberica,
dan Excelsa. Robusta tumbuh di sekitar Kongo juga wilayah tropis Afrika lain
dan Excelsa banyak ditemui di dataran rendah Afrika Barat dan Tengah. Sedangkan
Liberica, dapat mudah ditebak, tumbuh di sekitaran daerah bernama Liberia.
Sampai 200 tahun berikutnya kopi masih menjadi komoditas
yang ‘dimonopoli’ secara komersial oleh kaum Muslim Yaman. Meskipun sudah ada
sedikitnya 3 sub-jenis lagi dari tanaman kopi yang tumbuh di Harar dan wilayah
Kerajaan Abyssinia lain, tetapi kopi-kopi tersebut dikenal dengan sebutan
Arabika. Bahkan, ia memiliki nama lain yang lebih eksplisit: Mocha Yaman.
Satu lagi yang mungkin cukup mengejutkan kopi berbeda
dengan produk pertanian lain. Sejak pertama kali dibudidayakan dalam jumlah
signifikan, tingkat produksi kopi tidak berbanding lurus dengan tingkat
konsumsi orang Yaman. Artinya, kopi sejak mula diorientasikan untuk dijual
kepada orang luar, ekspor. Secara langsung, setelah memanen biji kopi,
orang-orang Yaman pergi ke arah timur untuk membarternya dengan produk-produk
lain.
Alasannya cukup sederhana, orang-orang Yaman lebih
mencintai teh dibanding kopi.
* * *
Tak terlalu lama, lima tahun kemudian pada 1711, biji
kopi yang dikembangkan di Kebun Botani Amsterdam menemukan pasarnya. Kopi
Arabika yang ditanam di kebun-kebun di Pulau Jawa masuk ke Balai Lelang
Amsterdam untuk pertama kali. Nama merk yang dipilih sebagai perkenalan untuk
kopi dari Jawa ini adalah ‘Java Koffie’.
Pelelangan ini boleh dikatakan menjadi penanda kesuksesan
kolonial dalam membudidayakan kopi di tanah jajahan. Jumlah kopi yang dibawa
oleh kolonial waktu itu sekitar 894 pon, yang dikapalkan langsung dari
perkebunan Batavia. Java Koffie laku dengan harga per ponnya sekitar 47 sen.
Termotivasi oleh pemerintah kolonial Belanda yang waktu
itu masih diwakili oleh VOC, orang-orang Yaman turut menjual panen kopinya ke
Balai Lelang Amsterdam. Sebelumnya, orang-orang Yaman ini masih agak segan
untuk secara masif memasarkan produksi kopinya ke Amsterdam. Selain karena
biaya transportasi yang harus ditanggung sangat tinggi, pajak yang dikenakan
oleh pemerintah Turki Usmani tergolong mahal ketika mereka melintasi
daerah-daerah protokol mereka.
Dikirimnya kopi Jawa ke Balai Lelang Amsterdam ternyata
berdampak luas. Seorang bernama Gabriel de Clieu sampai di Paris, Perancis dan
memperkenalkan Java Koffie ke Raja Perancis, Louis XIV. Karena Java Koffie, kolonial
Perancis untuk pertama kali menanam kopi di daerah Martinique yang terletak di
sebelah timur Laut Karibia, salah satu pulau yang ditemukan oleh Christoper
Columbus tahun 1493.
Tak mengherankan, kopi yang kemudian tersebar di dataran
selatan Benua Amerika, Amerika Latin, merupakan ‘anak-anak’ dari pohon yang
ditanam di Martinique ini. Seperti salah satu varian kopi Arabika paling
terkenal di dunia, Bourbon, yang tumbuh subur di dataran tinggi Brazil.
Referensi:
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Secangkir Kopi Meracik
Tradisi, 2011.
William Gervase Clarence-Smith dan Steven Topik (eds.),
The Global Coffee Economy in Africa, Asia, and Latin America 1500-1989, 2003.
0 komentar:
Posting Komentar