OLEH ARYS ADITYA |
Diakui atau tidak, produksi,
tata-niaga, dan budaya-minum kopi, adalah warisan kolonial Belanda. Meskipun
setelah mereka pergi, masyarakat Indonesia memodifikasinya sedemikian rupa,
mencari solusi-solusi yang tepat untuk permasalahan yang muncul, lantas
menyerap dengan konteks sosial masing-masing.
Belanda, secara geopolitik dan
kultural, telah menjadi ‘pemain’ dalam percaturan politik dunia. Bahkan, jauh
sebelum ‘Indonesia’ terpikirkan. Pun, Belanda juga terlibat dalam Perang yang
terjadi di nyaris seluruh permukaan bumi.
Momentum Perang Dunia I dan II
ini yang kemudian memberikan daya dorong bagi perkembangan kopi sebagai
komoditas perdagangan. Perkembangan itu meliputi 2 hal yang kemudian disebut
sebagai gelombang budaya kopi (waves of coffee culture).
Sebelum Perang Dunia I, kopi
sebenarnya telah menjadi minuman yang dikenal luas, dengan rantai produksi yang
cukup rumit. Namun sebagaimana produk komoditas lain, sinar tersohornya kopi
menjadi suram karena dua edisi perang yang meluluh-lantakkan dunia. Perang yang
efeknya juga sampai ke Indonesia.
Usai Perang Dunia II, ekonom
dan para pengamat lain mencatat ada ‘invasi’ besar-besaran komoditas kopi di
banyak rumah tangga masyarakat AS dan Eropa. Sebelumnya kopi memang sudah
dikenal sebagai produk konsumsi yang menggiurkan. Karena Perang Dunia I dan II,
perekonomian dunia lebih tersedot pada aspek-aspek militer dan pertahanan
negara. Bukan untuk pemenuhan kebutuhan primer, sekunder, dan tersier
masyarakat.
Periode 1940-1950an dianggap
menjadi titik balik sekaligus sukses bagi banyak usahawan consumer goods. Kita
mengenal banyak perusahaan yang kemudian menjadi raksasa dan menanamkan
pengaruh besar ke masyarakat dunia yang lahir di masa itu. Sebutlah Coca-Cola
(lahir tahun 1944) dan McDonald (berdiri 1940, kemudian melakukan revolusi
manajerial besar-besaran di pada tahun 1948).
Bisa dikatakan, tahun-tahun
itu merupakan tahun dimana beberapa momentum bertemu. Mulai dari situasi
politik yang mulai mendingin setelah perang, hadirnya penemuan teknologi dan
berkembangnya ilmu pengetahuan, ekonomi yang perlahan mulai terintegrasi, dan
wacana demokratisasi yang kemudian sukses disebarkan.
Jangan lupakan pula
konsistensi perusahaan-perusahaan raksasa ini dalam merawat konsumen dan banyak
melahirkan inovasi manajerial. Seperti kasus McDonald, dan yang paling
terkenal: Ford(isme).
Semuanya bermuara pada tersedianya
kopi di sebagian dapur rumah di AS dan Eropa Barat.
Publik Gelombang Pertama
(First Waver) menjadikan kopi sebagai pengisi waktu mereka. Sebagian besar
meminum kopi untuk memulai hari, dan sebagian yang lain secara konstan
meminumnya di setiap ada kesempatan. Konsumsi kopi meningkat drastis. Baik di
kedai-kedai kopi maupun di rumah. Kopi telah menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan masyarakat AS dan Eropa.
Adalah Nestle, perusahaan
hasil merger antara Anglo-Swiss Milk Company dan Farine Lactee Henri Nestle di
tahun 1905, yang berhasil menggerakkan Gelombang Pertama budaya kopi dengan
merk produknya Nescafe. Sampai hari ini, Nestle masih menjadi korporasi lintas
negara yang memimpin pasar kopi instan.
Dan karena faktor Nestle pula,
tahun 1962, PBB membuat International Coffee Agreement yang pertama yang secara
sah bisa dilihat sebagai pengakuan negara-negara atas pentingnya komoditas
perkebunan bernama kopi.
* * *
Serupa dengan sebelumnya,
Gelombang Kedua (Second Wave) kopi juga tak bisa lepas dari situasi
ekonomi-politik dunia secara umum, ditambah dengan perkembangan teknologi dan
ilmu pengetahuan.
Tahun 1970-1980an, kita
mengingat kalau neoliberalisme masih berupa embrio yang baru tumbuh di aliansi
negara-negara yang menolak komunisme. Ditandai dengan pelepasan nilai mata uang
dari patokan emas. Demikian pula di level orang per orang, individualisasi yang
telah digagas jauh-jauh hari di AS dan Eropa (Barat) mulai menjadi prinsip
hidup dalam bermasyarakat.
Dua hal tersebut berkelindan
mendorong perusahaan-perusahaan transnasional untuk lebih menerapkan
spesialisasi, efektivitas, dan efisiensi.
Sementara di sisi yang lain,
gejala-gejala (yang oleh sebagian orang disebut) posmodernisme mulai nampak.
Salah satunya juga terjadi di bentang budaya ngopi. Second Wave menjadi lebih
mudah ditandai karena indikasinya jelas: hadirnya Starbucks sebagai ‘penguasa
dunia’.
Meskipun bukan yang memulai
gelombang kedua kultur (atau filosofi) ngopi, Starbucks bisa disebut sebagai
benchmark. Melalui Starbucks, dan diikuti oleh perusahaan-perusahaan lain,
kosakata seperti latte, espresso, dan capuccino menjadi familiar. Untuk
orang-orang yang lahir di antara rentang 1970 sampai 1990, Starbucks bahkan
memiliki titik sentral identifikasi tertentu. Kemenangan aliansi yang dipimpin
AS dalam perlombaan ekonomi-politik Perang Dingin melawan Komunis-nya Soviet
sedikit banyak membantu Starbucks meraih kesuksesan.
Benar, minum kopi dikenal lebih
dari sekedar aktivitas ketika Starbucks berhasil memberi tambahan ‘identitas’
kepada para konsumennya. Kemudian, muncul kedai-kedai yang sebagian besar
terpengaruh oleh Starbucks. Mengikat konsumen yang telah tersegmentasi. Atau
berkehendak untuk membentuk segmennya sendiri.
Implikasi Gelombang Kedua juga
cukup lebar. Karena dari sinilah, barista sebagai sebuah profesi, yang pada
akhirnya menjadikan orang-orang di dalamnya tak bisa lagi dipandang sebelah
mata, bermunculan. Sekaligus, di periode ini pula mesin espresso semi-otomatis
makin banyak terjual.
Banyaknya nilai-nilai yang
dipancarkan Starbucks, baik sengaja maupun tidak, barangkali adalah konsekuensi
yang wajar. Dengan 2000 buah gerai (di tahun 2000 saja) di seluruh dunia,
Starbucks tak dapat disangkal dapat dengan mudah membuat para konsumen
memandang dunia dengan cara mereka.
Di sisi lain, minum kopi di
Starbucks membuat para konsumen merasa memiliki keunikan. Ada sensasi dan
kebanggaan tertentu yang didapat ketika para konsumen keluar dari Starbucks.
Sementara di luar Starbucks,
peningkatan konsumsi masyarakat yang konstan menuntut adanya perbaikan kualitas
biji kopi secara terus-menerus. Di periode inilah, biji kopi Arabika yang
sebelumnya hanya dikonsumsi di kalangan terbatas, mulai menelusup ke
gerai-gerai dan kedai-kedai kopi.
Tak hanya itu, munculnya mesin
espresso dan roaster (pemanggang kopi) yang lebih sederhana, membuat publik
kelas menengah —dengan jumlahnya yang meningkat di periode sosial politik yang
cukup stabil— menginginkan kualitas kopi yang lebih bagus di dapur rumah
mereka.
Belakangan, para pengamat
menyebut bahwa fenomena Starbucks adalah hyper second wave company. Perusahaan
yang sanggup menggerakkan, menunggangi, dan melipatgandakan efek gelombang
kedua. Nyaris serupa seperti kompatriotnya, McDonald dan Coca-Cola di komoditas
masing-masing.
Sebagai entitas bisnis,
Starbucks patut menjadi contoh. Akan tetapi sebagai entitas yang ada di lingkup
sosial, waralaba kopi lain (utamanya di Indonesia) perlu berhati-hati, karena tren
Starbucks perlahan mulai memudar.
Tren dunia menunjukkan bahwa
publik tampak jenuh dan jengah dengan segala hal yang berbau Starbucks dan
sejenisnya. Dengan kombinasi beserta beberapa faktor lain, hal ini
mengakibatkan munculnya fenomena mutakhir, yang setidaknya sudah terjadi
sepuluh terakhir belakangan. Fenomena tersebut adalah Gelombang Ketiga (Third
Wave) kopi.
Sekaligus, pada aras yang
sama, terseretnya publik dunia pada Gelombang Ketiga ini setidaknya memunculkan
dua pertanyaan: bagaimana sejatinya perkembangan kultur kopi di Indonesia?
Sampai di gelombang manakah ‘masyarakat kopi’ Indonesia?
0 komentar:
Posting Komentar