15 Agu 2013

Cerita Kopi Dari Dua Dinasti

OLEH  |NENI MUHIDIN |
Kopi Palu memang kurang begitu terdengar namanya dalam jagat kopi. Namanya masih kalah mentereng dengan tetangganya, Toraja, kalau berbicara mengenai kopi. Namun bukan berarti Palu tak punya sejarah panjang mengenai kopi.

Di buku Tania Murray Li, The Will to Improve (2012) dijelaskan bahwa sejarah tanam kopi di Palu mengikuti tradisi penanaman kopi yang diperkenalkan Belanda. Saat itu, pada tahun 1822, kopi adalah tanaman wajib di Minahasa, Sulawesi Utara. Dari Minahasa, kewajiban menanam kopi juga menyebar ke daerah tetangga, seperti Palu yang terletak di Sulawesi Tengah.


Palolo dan Kulawi adalah dua wilayah di selatan lembah Palu yang jadi pemasok kopi robusta di daerah Palu. Dua kecamatan yang masuk dalam Kabupaten Sigi itu berada di dataran tinggi, kawasan yang cocok untuk ditanami robusta. Dahulu ada satu wilayah lagi yang agak lebih tinggi dan jauh ke selatan, yakni Lembah Napu (masuk wilayah adaministrasi Kabupaten Poso). Ketiga nama itu adalah bagian dekat dari kawasan Taman Nasional Lore Lindu.

Lembah Napu yang lebih tinggi menghasilkan kopi arabika yang baik. Banyak pohon arabika itu sekarang ditanami warga hanya untuk konsumsi sendiri. Tidak seperti ketika wilayah itu dikuasai oleh perusahaan perkebunan nasional di era Soeharto berkuasa, salah satunya adalah PT Hasfarm, yang memiliki konsesi lahan disana hingga 7.740 hektar. Kebun teh dan kopi yang jejaknya masih bisa terlihat disana itu semakin tak lagi jadi komoditi hari ini, karena tergantikan oleh booming pasar kakao dan juga karena konflik Poso.
* * *
Karena pernah menjadi sentra penghasil kopi di Sulawesi Tengah, tak heran kalau Palu juga punya beberapa warung kopi dengan sejarah yang panjang. Selain warung kopi, ada pabrik olahan kopi lokal yang produknya dikonsumsi oleh sebagian besar warga Palu. Namanya Kopi Bintang Harapan yang diproduksi di daerah Tondo. Lalu juga ada Kopi Jahe Bintang Soraya yang diproduksi ala industri rumahan di Jalan Djaelangkara, Palu Barat.

Kalau berbicara mengenai warung kopi terkenal di Palu, setidaknya ada dua generasi dari etnis Tionghoa yang hingga saat ini masih eksis meneruskan tradisi warung kopi di Palu: Anak cucu Holoi dan anak cucu Tan A Kui.

Holoi, pada 1930 membuka warung kopinya di bilangan jalan Cempaka yang lebih di kenal orang Palu sebagai Bundaran Nasional. Jalan Cempaka, mungkin, menginspirasi nama sebuah warung kopi terkenal di jalan Gadjah Mada yang sudah tak ada lagi sekarang. Bisa jadi semacam usaha mengembalikan ingatan penikmat kopi di Palu tentang sebuah warung kopi historis di jalan itu.

Entah kenapa nama warung kopi Holoi saat itu adalah Adu Nasib. Kintung (55), putra Holoi yang saat ini meneruskan tradisi warung kopi ayahnya bercerita panjang, nama itu seolah ingin mengekspresikan sebuah masa sulit ketika tetuanya sebenarnya tak punya tradisi warung kopi. “Warung kopi Cemara itu (punya) sepupu saya,” kata Kintung.

Saat ini dua anak Holoi, Kintung, dan Ai Lie yang perempuan meneruskan tradisi itu. Yang satu terkenal dengan warung kopi Sudimari, yang satu lagi terkenal dengan warung kopi Kurnia di jalan Pattimura. Sudimari bahkan berkembang menjadi dua tempat di jalan yang sama, jalan Setiabudi. Yang baru di kelola Kintung, yang lama di kelola anaknya.

Hikayat Tan A Kui

Tidak ada catatan resmi tentang kapan Tan A Kui menginjakkan kakinya untuk pertama kali di Palu.
Gelombang migrasi etnis Tionghoa ke nusantara tentu saja bukan baru kemarin. Sudah berabad-abad lamanya gelombang perpindahan itu terjadi, sejalan dengan proses asimilasinya, termasuk yang juga terjadi di Palu. Ensiklopedi maya terkenal Wikipedia memasukkan Sulawesi Tengah dan beberapa daerah tetangga, termasuk hingga ke beberapa kota besar di Sumatera, Jawa, dan Bali, sebagai bagian dari daerah yang menjadi konsentrasi awal sebaran etnis Tionghoa dari sub etnis Hokkian yang letaknya di sebelah utara Republik Rakyat China itu.


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More