Kopi Palu memang kurang begitu terdengar namanya dalam
jagat kopi. Namanya masih kalah mentereng dengan tetangganya, Toraja, kalau
berbicara mengenai kopi. Namun bukan berarti Palu tak punya sejarah panjang
mengenai kopi.
Di buku Tania Murray Li, The Will to Improve (2012)
dijelaskan bahwa sejarah tanam kopi di Palu mengikuti tradisi penanaman kopi
yang diperkenalkan Belanda. Saat itu, pada tahun 1822, kopi adalah tanaman
wajib di Minahasa, Sulawesi Utara. Dari Minahasa, kewajiban menanam kopi juga
menyebar ke daerah tetangga, seperti Palu yang terletak di Sulawesi Tengah.
Palolo dan Kulawi adalah dua wilayah di selatan lembah
Palu yang jadi pemasok kopi robusta di daerah Palu. Dua kecamatan yang masuk
dalam Kabupaten Sigi itu berada di dataran tinggi, kawasan yang cocok untuk
ditanami robusta. Dahulu ada satu wilayah lagi yang agak lebih tinggi dan jauh
ke selatan, yakni Lembah Napu (masuk wilayah adaministrasi Kabupaten Poso).
Ketiga nama itu adalah bagian dekat dari kawasan Taman Nasional Lore Lindu.
Lembah Napu yang lebih tinggi menghasilkan kopi arabika
yang baik. Banyak pohon arabika itu sekarang ditanami warga hanya untuk
konsumsi sendiri. Tidak seperti ketika wilayah itu dikuasai oleh perusahaan
perkebunan nasional di era Soeharto berkuasa, salah satunya adalah PT Hasfarm,
yang memiliki konsesi lahan disana hingga 7.740 hektar. Kebun teh dan kopi yang
jejaknya masih bisa terlihat disana itu semakin tak lagi jadi komoditi hari
ini, karena tergantikan oleh booming pasar kakao dan juga karena konflik Poso.
* * *
Karena pernah menjadi sentra penghasil kopi di Sulawesi
Tengah, tak heran kalau Palu juga punya beberapa warung kopi dengan sejarah
yang panjang. Selain warung kopi, ada pabrik olahan kopi lokal yang produknya
dikonsumsi oleh sebagian besar warga Palu. Namanya Kopi Bintang Harapan yang
diproduksi di daerah Tondo. Lalu juga ada Kopi Jahe Bintang Soraya yang
diproduksi ala industri rumahan di Jalan Djaelangkara, Palu Barat.
Kalau berbicara mengenai warung kopi terkenal di Palu,
setidaknya ada dua generasi dari etnis Tionghoa yang hingga saat ini masih
eksis meneruskan tradisi warung kopi di Palu: Anak cucu Holoi dan anak cucu Tan
A Kui.
Holoi, pada 1930 membuka warung kopinya di bilangan jalan
Cempaka yang lebih di kenal orang Palu sebagai Bundaran Nasional. Jalan
Cempaka, mungkin, menginspirasi nama sebuah warung kopi terkenal di jalan Gadjah
Mada yang sudah tak ada lagi sekarang. Bisa jadi semacam usaha mengembalikan
ingatan penikmat kopi di Palu tentang sebuah warung kopi historis di jalan itu.
Entah kenapa nama warung kopi Holoi saat itu adalah Adu
Nasib. Kintung (55), putra Holoi yang saat ini meneruskan tradisi warung kopi
ayahnya bercerita panjang, nama itu seolah ingin mengekspresikan sebuah masa
sulit ketika tetuanya sebenarnya tak punya tradisi warung kopi. “Warung kopi
Cemara itu (punya) sepupu saya,” kata Kintung.
Saat ini dua anak Holoi, Kintung, dan Ai Lie yang
perempuan meneruskan tradisi itu. Yang satu terkenal dengan warung kopi
Sudimari, yang satu lagi terkenal dengan warung kopi Kurnia di jalan Pattimura.
Sudimari bahkan berkembang menjadi dua tempat di jalan yang sama, jalan
Setiabudi. Yang baru di kelola Kintung, yang lama di kelola anaknya.
Hikayat Tan A Kui
Tidak ada catatan resmi tentang kapan Tan A Kui
menginjakkan kakinya untuk pertama kali di Palu.
Gelombang migrasi etnis Tionghoa ke nusantara tentu saja
bukan baru kemarin. Sudah berabad-abad lamanya gelombang perpindahan itu
terjadi, sejalan dengan proses asimilasinya, termasuk yang juga terjadi di
Palu. Ensiklopedi maya terkenal Wikipedia memasukkan Sulawesi Tengah dan
beberapa daerah tetangga, termasuk hingga ke beberapa kota besar di Sumatera,
Jawa, dan Bali, sebagai bagian dari daerah yang menjadi konsentrasi awal
sebaran etnis Tionghoa dari sub etnis Hokkian yang letaknya di sebelah utara
Republik Rakyat China itu.
0 komentar:
Posting Komentar